Pada masa Khalifah Umar bin al-Khathab, maskawin (mahar) yang harus dibayar suami kepada istrinya terbilang mahal.
Bagi kaum berada memang bukan masalah, tetapi tidak demikian halnya buat kalangan yang tidak punya.
Tingginya kewajiban membayar maskawin terang saja menjadi salah satu penghambat keinginan sebagian masyarakat untuk membangun rumah tangga.
Oleh karena itu, Khalifah Umar segera memutar otak mencari alternatif pemecahannya. Ia menemukan solusi untuk masalah tersebut.
Negara, demikian menurutnya, harus menentukan jumlah maksimal pemberian mahar. Tidak sekadar itu, Khalifah Umar pun membuat ketentuan tambahan, yaitu dari jumlah maskawin yang dibayarkan suami akan diambil petugas negara sebesar 25 dirham untuk kemudian dimasukkan ke dalam baitul mal.
Khalifah Umar lantas mengumumkan peraturan tersebut di dalam masjid, di hadapan orang banyak, baik laki-laki maupun perempuan.
Yang menarik untuk dicatat adalah ketika Khalifah Umar selesai berbicara kemudian turun dari mimbar, seorang perempuan berdiri tegak dan mengajukan protes.
Dengan suara lantang, perempuan itu berkata “Laisa laka hadza, yaa Umar” (Anda tidak berhak melakukan hal ini, wahai Umar).
Keruan saja Khalifah Umar terkejut. Kemudian ia bertanya, “Memangnya kenapa?” Perempuan itu menjawab, “Sebab, Allah telah berfirman dalam al-Qur’an, ‘Dan apabila kamu mau mengganti istrimu dengan istri yang lain (maksudnya menceraikan), sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, janganlah kamu mengambilnya kembali daripadanya walaupun sedikit. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata?’ (QS. an-Nisaa’ [4]: 20).”
Setelah perempuan itu tamat membacakan ayat tersebut, Khalifah Umar yang sejak tadi mendengarkan dengan saksama, kembali naik mimbar.
Apakah tindakan Khalifah itu lantaran mau menghardik perempuan itu karena dianggapnya telah berkata terlalu lancang?
Ternyata tidak. Alih-alih marah, justru naik mimbar kali ini Khalifah Umar ingin mengakui kekeliruan dirinya sehingga kemudian kebijakan yang baru saja diumumkannya itu dinyatakan batal karena hukum.
Dalam kesempatan itu, Khalifah Umar berkata, “Asftabat imra’ah wa akhtha’a Umar.” (Perempuan itu benar dan Umar telah keliru).
Sungguh mengagumkan. Seorang penguasa sekaliber Umar bersedia, bahkan tidak merasa kehilangan muka untuk menarik kembali kebijakan yang baru saja dibuat, seandainya yang demikian itu bertentangan dengan kebenaran.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, maukah kita berjiwa besar untuk mengakui kekeliruan diri seperti telah diteladankan Khalifah Umar ketika, misalnya, pendapat kita bertentangan dengan kebenaran?
A. Hajar Sanusi
(Ketua MUI Kec. Kiaracondong)
Edited by: Nisrina Lubis
Nota
Dalam Buku The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History, Umar Al-Khattab telah diletakkan dalam senarai 100 pemimpin agung dunia pada kedudukan ke-52 yang mana Rasulullah S.A.W adalah yang teragung. Buku ini ditulis oleh Michael H Hart.
Nota
Dalam Buku The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History, Umar Al-Khattab telah diletakkan dalam senarai 100 pemimpin agung dunia pada kedudukan ke-52 yang mana Rasulullah S.A.W adalah yang teragung. Buku ini ditulis oleh Michael H Hart.